Lusi Nesrika jelita, S.Pd.

Belum menuliskan informasi profilenya.

Selengkapnya
Navigasi Web
Segurat Rindu (bagian 3)(Tantangangurusiana#Tantangan Hari ke-32)

Segurat Rindu (bagian 3)(Tantangangurusiana#Tantangan Hari ke-32)

SEGURAT RINDU

Part 2

(TantanganGurusiana Tantangan Hari ke-32)

Bagai kucing yang sedang mencuri ikan, aku mendekati Nadira yang sedang duduk tafakur sendiri. Kuberanikan menyapa selembut mungkin agar ia merasa tidak terusik.

“Dira. Boleh ibu duduk di sini?”, sambil menunjuk salah satu kursi yang berada di depan meja.

Ia terperanjat tak menyadari kedatangannku. Ia melirikku sekilas dengan tatapan tidak senang dan hendak beranjak dari tempat duduknya. Sebelum sempat berdiri, ku raih tangan kanannya sigap. Ku pegang erat lengannya. Ia berontak. Namun, aku berhasil membuat ia kembali pada posisinya semula.

Kurenggangkan pegangannku di tangannya. Kuraih tangannya yang satu lagi hingga kedua telapak tangannya menyatu dalam genggamanku. Kuusap lembut punggung tangannya. Netranya mulai sayu. Tatapannya berubah redup. Air matanya berjatuhan membasahi hijab hitam yang dipakainya.

“Kamu sudah sarapan?”.

Ia menggeleng lemah. Lalu, aku memesan satu piring lontong sayur kepada ibu kantin. Kusodorkan lontong itu padanya. Ia tidak menolak. Satu persatu potongan lontong itu mulai bepindah tempat ke mulutnya. Kubiarkan dia menghabiskan sarapannyanya. Ia terlihat lapar dan sangat lelah.

“Dira, ada apa?’, tanyaku hati-hati.

Air matanya kembali jatuh. Berkali-kali ia mengusap netra dengan hijabnya yang tak kalah lusuh dengan penampilannya.

“Ibu, aku takut. Kenapa harus terjadi padaku.”, keluhnya gemetar.

***

Di rumah Dira

Dira tidak berani keluar dari kamarnya. Di lantai yang beralaskan tikar lusuh, ia duduk tak berdaya. Air matanya terus mengalir membasahi pipi, sedangkan kedua belah telinganya, ia tutupi dengan tangannya. Sesekali, ia mengintip ke luar melalui lubang kunci pintu kamar.

Tiba-tiba, ia terlempar ke sudut kamar tatkala mendengar suara benda membentur keras di pintu kamarnya. Benda itu jatuh ke lantai yang menimbulkan bunyi kaca yang berserakan. Dilanjutkan dengan suara teriakan ibunya. Suara hardikan ayahnya pun tak kalah membuat oksigen berhenti masuk ke paru-paru Dira.

Spontan, Dira melompat ke tempat tidurnya. Ia membenamkan wajahnya ke bantal. Suara isakannya mengilu di hati. Tubuhnya terguncang sama seperti gancangan jiwa yang ia rasakan saat ini.

Sementara itu, di ruangan tengah, ibunya terduduk di sudut ruangan. Sambil menutup muka mendengar ocehan ayahnya. Sesekali ibunya menjawab lantang ayahnya. Perang mulut tak terhindarkan. Saling menyalahkan dan mempertahankan kebenaran masing-masing.

“Sekarang, cepat ambilkan surat itu. Aku butuh sekarang”, bentak ayahnya

“Hanya itu yang kita punya, Bang”, tolaknya di sela isakan tangisnya.

Tak hanya sampai di situ, ayahnya masuk ke kamar dan menuju satu-satunya lemari yang berada di dalam kamar itu.

Prak…,ia membuka pintu lemari itu dengan kasar. Matanya liar mencari-cari. Kedua tangannya mengaduk-aduk isi lemari itu. Pakaian yang tersusun rapi di dalamnya berhamburan ke luar. Tetiba matanya terhenti pada salah satu laci kecil yang ada di dalamnya. Tangan kanannya menarik laci. Diraihnya sebuah map biru plastik yang ada di dalamnya. Bibirnya menyungging senyuman kemenangan.

“Aku pinjam dulu, ya. Nanti aku kembalikan 2 kali lipat kalau aku menang nanti. Makanya doakan. Jangan nangis gitu!”, sambil mengecup licik kening istrinya, ia berlalu.

Ibunya berusaha merampas berkas yang berada di tangan ayahnya. Sigap ayahnya menghindar dan menuju pintu ke luar. Dengan kasar ia menutup pintu hingga menimbulkan bunyi yang menambah luka di hati ibunya. Sedangkan ibunya menangis sesenggukan di lantai. Ibunya tak bedaya menahan ayahnya pergi dengan membawa sertifikat rumah. Satu-satunya harta yang mereka punya. Seluruh tabungan dan perhiasan yang dimiliki ibunya tak satu pun tersisa.

“Ada apa, Bu, kok piring pada pecah dan semua berantakan?”, tanya Viola, kakaknya Dira.

“Kamu dari mana, hah? Hari gini baru pulang. Di mana kamu nginap tadi malam?”, Ibunya bangkit sambil menilik penampilan anak sulungnya dari ujung rambut sampai ujung kaki.

“Di ruman temanlah, Bu”, jawabnya santai.

“Dengan penampilan seperti ini”, sambil menarik lengan baju Viola kasar.

Bersambung

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar

Lanjuuut

15 Feb
Balas

Semangat cantik..., biar ada lanjutannya.

15 Feb
Balas

Fajri kira di bagian ini akhir ceritanya, ternyata masih ada lanjutannya ya buk? Hehe, ditunggu kelanjutannya buk

15 Feb
Balas

Insyaallah Fajri..

16 Feb



search

New Post