Lusi Nesrika jelita, S.Pd.

Belum menuliskan informasi profilenya.

Selengkapnya
Navigasi Web
ADOPSI (Tagar#Tantangan Hari ke-21)

ADOPSI (Tagar#Tantangan Hari ke-21)

Alexander Christieku sudah menunjukkan pukul 10.10. Laptop di hadapanku menunggu untuk disentuh. Beberapa buku teks pun sudah siap untuk dibolak-balik. Namun, aku masih termangu duduk di sini.

Pembicaraanku bersama suami tadi malam masih terngiang di telinga. Ia mendesakku untuk menyetujui permintaannya. Berbagai macam argumen telah diutarakannya. Pertimbangan baik buruk dari sudut pandangannya pun diuraikan secara panjang lebar. Tapi, aku masih bisu seribu bahasa. Aku belum sanggup untuk memberi jawaban apa pun. Seperti biasa, ia memberiku waktu tambahan untuk berpikir. Namun, kali ini ia hanya memberi waktu sampai nanti malam.

Tiba-tiba suara bel masuk membuyarkan lamunanku. Aku melirik ke arah lengan kiri. Ternyata jarum panjang alexander Christie sudah bergerak ke angka 6. Berarti, jam ke-5 sudah masuk. Sedikit panik, segera kualihkan netraku ke laptop yang seperti mamandangku tak berdaya. Aku menyentuhnya. Kuhidupkan kembali tombolnya. Aku mencari file yang aku simpan di dokumen. Namun, yang dicari tidak kutemukan. Lalu, aku lanjutkan di pencarian. Mataku terarah ke tulisan UH 1 Kelas XI Ilmu Alam. Garis bibirku sedikit melebar. Aku buka file tersebut. Tenyata file itu kosong. Ops…aku baru sadar. Ternyata belum satu pun soal aku buat. Padahal hari ini aku jadwal ulangan harian. Aku tambah panik. Alasan apa yang harus aku berikan kepada peserta didikku nanti. Hal yang tidak mungkin kalau mengatakan alasan yang sebenarnya. Aku berfikir sejenak. Kemudian berlalu menuju kelas.

Betapa terkejutknya aku setiba di kelas yang aku tuju. Di sana, sudah berdiri wakil kurikulum yang sedang menjelaskan pelajarannya. Aku tidak berani masuk apalagi menyapanya. Aku tetap berdiri kaku di depan pintu. Berbagai bayangan apa yang terjadi setelah ini menghantui pikiranku.

“Bu, kelas XI IA 3 jadi UHnya kan?”, aku dikejutkan oleh pertanyaan salah seorang peserta didikku.

Dengan agak gelagapan, aku mengangguk. Sebelum si anak beranjak jauh, aku memanggilnya. “Nanda, kelas XI IA 3 kan? “, tanyaku.

“Iya, Bu. Jam terakhir nanti jadikan UH, Bu?, tanyanya kembali.

“Tentu, dong”, jawabku lega.

Aku menghembuskan karbondioksida yang dari tadi memenuhi paru-paruku. Dengan cepat aku berlalu dari tempat ini. Aku tidak mau ketahuan oleh wakil kurikulum bahwa aku sedang berdiri di depan kelasnya dan sedang memperhatikannya.

Aku tersenyum sendiri akhirnya. Aku baru menyadari kalau Jadwal yang aku lihat tadi adalah jadwal untuk besok hari. Alhamdulillah. Berarti, ada kesempatan untuk mempersiapkan kembali soal ulangan yang terbengkalai gegara pembicaraanku dan suami tadi malam.

Sekarang, kami sudah berkumpul. Termasuk ketiga anakku. Sebenarnya, yang paling getol menunggu jawabanku adalah mereka. Mereka menatapku penuh harap. Harapan yang tak mungkin aku menolaknya. Tapi, aku belum bisa menerima kalau kami harus mengeluarkan uang untuk membelinya. Selain itu, aku belum siap untuk menerima satu lagi penghuni rumah ini. Walaupun seekor kucing.

Penolakanku bukan tanpa alasan untuk mengabulkan permintaan suami dan anak-anakku. Menurut agama, kucing salah satu hewan yang tidak boleh diperjualbelikan. Sedangkan anak-anakku ingin sekali untuk memeliharanya dengan cara membeli. Kucing yang ingin dipeliharanya berjenis Persia. Tentunya kucing berjenis ini bukan kucing liar yang bisa diminta atau bisa ditemukan dijalanan dan bebas kita ambil untuk merawatnya. Apalagi, aku juga alergi sama binatang yang satu ini. maksudnya, aku merasa geli melihatnya.

“Bunda, boleh ya kita mengadopsinya?”, tanyanya memelas.

Aku menatap bola matanya yang jernih. Matanya berbinar di kala pandangan kami bertemu. Sungguh mata yang penuh pengharapan dan kasih sayang. Tak kuasa aku menolak permintaannya. Permintaan yang bersyarat ia tawarkan langsung padaku. Mereka berjanji akan selalu merawatnya, dari memberinya makan, memandikannya bahkan membuang kotorannya. Bahkan, ia berjanji akan mengurangi main gadged di waktu libur. Namun, alasan yang urgen dan berhubungan dengan agamalah yang sulit aku penuhi.

Kecintaan anak-anakku pada kucing berawal dari kunjungan kami ke salah satu rumah teman suami. Ia memiliki banyak kucing berjenis Persia. Semenjak itu, ia jatuh cinta pada hewan yang katanya pernah tidur di atas sajadah nabi itu.

“Bunda tidak perlu risau. Insyaallah kucing itu tidak akan dibeli”, ucap suami.

Mendengar pernyataan ayahnya, ketiga anakku terdiam dengan wajah yang tegang. Mereka tidak menyangka kalau ayahnya berbicara seperti itu. Padahal, mereka berharap banyak pada ayahnya agar membujukku untuk menyetujuinya. Bahkan, pipi salah satu anak gadisku mulai basah.

“Namun, ada yang mau mempercayakan ke kita untuk memeliharanya”, tambah suamiku dengan senang.

Spontan ketiga anakku melompat kegirangan. Suara sorak-sorai mereka membuat mataku berembun. Salah seorang dari mereka menyapu matanya dengan ujung hijabnya. Aku tersenyum melihat kegembiraan mereka. Alhamdulillah. Keegoanku akhirnya runtuh. Biarlah mereka belajar untuk bertanggung jawab. Biarlah mereka menyayangi hewan kesayangan rasulullhah ini. Biarlah mereka menikmati kehadiran anggota baru di rumahku istanaku.

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar




search

New Post